- Perlawanan rakyat terhadap penjajah
Perlawanan terhadap penjajahan Jepang banyak
dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Di daerah Cot Plieng Aceh perlawanan
terhadap Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil (seorang guru ngaji di daerah
tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga
Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang
melaksanakan shalat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat
berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk
kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan
oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar
masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan
diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang shalat.
Perlawanan lain yang terkenal lainnya adalah
perlawanan PETA di daerah Blitar, Jawa Timur. Perlawanan ini dipimpin oleh
Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan
karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara
paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang
tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih
militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia.
Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi
dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang),
pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira
PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco
Supriyadi berhasil meloloskan diri
- Persiapan kemerdekaan
Pemerintahan Jepang di
Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari tentara sekutu di Perang Dunia II.
Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh tentara
sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Radjiman Widyodiningrat.
Nama BPUPKI diganti menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu
Junbi Inkai untuk lebih menegaskan
keinginan dan tujuan bangsa Indonesia untuk merdeka.
Soekarno, Hatta selaku
pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI
diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang
sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat
radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah
bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan
yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke
tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera
memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai
tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada
Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti
dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di
Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi
kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan
dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno
mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan
karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah
badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan
‘hadiah’ dari Jepang. Setelah mendengar Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus
1945, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka
tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Soekarno
dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke rumah Laksamana Muda Maeda, di Jalan
Medan Merdeka Utara. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat
atas keberhasilan mereka di Dalat.
Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera
mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada
pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna
membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi
Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan
kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa
golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena
Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah
terjadiperistiwa Rengasdengklok.
- Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang,
termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana berdiskusi dengan Ibrahim dan
pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama
Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa
Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang
kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh
Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah
dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan
muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjomelakukan
perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad
Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan
para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah
masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di
Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka
tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum
perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh
Indonesia.
**Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional (Gambar)
Perundingan antara golongan muda dan golongan
tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul
02.00 – 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana
Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah
Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi
ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik,
Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi
itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Teks Proklamasi
Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di
kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo,Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara
dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan
disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah
dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil
walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu
ditunjuklah Latief Hendraningrat,
seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul
dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih),
yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera
pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara
selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Peloporyang dipimpin S. Brata datang
terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari
Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi,
namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18
Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil
keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar
negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan
demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk
Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas
usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan
wakil presiden Republik Indonesia yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar